Minggu, 09 Juni 2013

metode pembelajaran tunanetra



A.    Metode pembelajaran.
ð  Terbagi menjadi 3 jenis, yaitu:
a.      Strategi pengorganisasian pembelajaran.
è adalah metode untuk mengorganisasi isi mata pelajaran/ kuliah yang telah dipilih untuk pembelajaran. Mengorganisasi mengacu pada suatu tindakan seperti pemilihan isi, penataan isi, pembuatan diagram, format, dan lainnya yang setingkat dengan itu.
è Strategi pengorganisasian berkaitan dengan pemilihan isi, penataan isi, pembuatan diagram, format, dan lainnya yang setingkat dengan itu.
1.      Pemilihan dan penataan isi materi tidak memerlukan modifikasi
2.      Penyajian  diagram (objek dua dimensi) memerlukan modifikasi dengan mengemboss (menimbulkan) agar dapat diraba tunanetra), sedangkan objek tiga dimensi harus disajikan dalam bentuk benda asli atau model.
3.      Penyajian format/ formula vertikal dapat dimodifikasi dalam format horinsontal, karena penulisan huruf Braille susah disajikan dalam format vertikal.

b.      Strategi penyampaian
è merupakan komponen variabel metode untuk melaksanakan program pembelajaran. Sekurang-kurangnya ada 2 fungsi dari strategi ini, yaitu:
1.      Menyampaikan isi pembelajaran kepada peserta didik.
2.      Menyediakan informasi/ bahan-bahan yang diperlukan peserta didik untuk menampilkan unjuk-kerja (seperti latihan dan tes). Strategi penyampaian mencakup lingkungan fisik, guru, bahan-bahan pembelajaran, dan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pembelajaran.
è Atau, dengan kata lain, peraga merupakan satu komponen penting dari strategi penyampaian pembelajaran. Itulah sebabnya, peraga pembelajaran merupakan bidang kajian utama strategi ini.
è Strategi Penyampaian terdapat 3 komponen yang perlu diperhatikan dalam memdeskripsikan strategi penyampaian:
1.            Peraga pembelajaran
·            Upayakan setiap anak mendapat kesempatan untuk mengamati (meraba) media yang tersedia.
·            Peraga visual dimodifikasi ke dalam peraga auditif, perabaan, namun tidak semua kesan visual dapat diubah ke dalam kesan non visual. Misal persepsi cahaya, bayangan, benda yang hanya dapat dijangkau dengan penglihatan. Hal ini anak tunanetra cukup diberi kesempatan untuk merasakan gejala yang muncul atau bahkan cukup diberikan cerita tentang itu.
·            Objek tiga dimensi harus disajikan dalam bentuk benda asli atau model.
2.            Interaksi peserta didik dengan peraga.
·            Peraga  hendaknya jangan terlalu besar atau terlalu kecil, yang ideal adalah sejauh kedua tangan dapat mendeteksi objek secara keseluruhan.
·            Penyajian tabel/ diagram perlu penjelasan cara membaca dan maksud tabel/ diagram tersebut.
·            Ada jaminan bahwa peraga itu tidak berbahaya, tidak mudah rusak.
3.   Bentuk/ struktur pembelajaran.
·         Bentuk/struktur pembelajaran tidak memerlukan modifikasi.

c.       Strategi Pengelolaan
è merupakan komponen variabel metode yang berurusan dengan bagaimana menata interaksi antara peserta didik dengan variabel-variabel metode pembelajaran lainnya.
·         Metode pembelajaran untuk orang awas pada prinsipnya dapat diterapkan terhadap peserta didik tunanetra dengan memodifikasi  aktivitas visual ke dalam aktivitas selain visual.
·         Metode ceramah: kata-kata asing atau kata lain yang belum dikenal hendaknya dosen/ guru mengulangi dan mengeja huruf-demi huruf. Jika antara ucapan dengan tulisan berbeda maka dosen/ guru harus mengeja huruf demi huruf.

B.     Modifikasi pendidikan.
a.       Modifikasi  waktu pembelajaran.
·         Lebih bijaksana bila dalam pemberian setiap tugas ada kaitannya dengan jenis/ tingkat kesulitan yang dialami anak, waktu diberikan kelonggaran secara proporsional bila dibanding dengan anak rata-rata lain. Mereka diberikan kesempatan untuk berprestasi seperti yang lain sekalipun dalam waktu yang berbeda. Misalnya anak tunanetra dalam mengerjakan soal-soal ujian diberikan  tambahan waktu sedikitnya 20% dengan waktu yang digunakan oleh anak awas.
·         Asumsi  jumlah penambahan waktu itu tidak memiliki dasar yang kuat, karena tiap mata kuliah tidak membutuhkan penambahan waktu yang sama. Mata kuliah statistik yang disajikan dalam bentuk gambar/ denah/ grafik timbul memerlukan waktu yang lebih lama, ketika anak mengidentifikasi table, formula, grafik, sebaliknya mata kuliah filsafat justru relatif lebih cepat. 
·         Kecepatan mengerjakan soal berbalik dengan orang awas (soal non eksakta), jika anak buta lebih cepat soal disajikan dalam bentuk  verbal, maka anak awas lebih cepat dan lebih yakin jika soal disajikan dalam bentuk tertulis. Hal ini disebabkan karena  kecepatan  membaca Braille dengan  huruf cetak  memiliki rentang waktu yang relatif lama.
b.      Modifikasi  sarana/media.
·         Media baca tulis untuk anak tunanetra total (buta) dimodifikasi  dalam huruf Braille, dan anak low vision dapat dimodifikasi dengan tulisan/ huruf diperbesar/ menggunakan media optik sesuai dengan tingkat penglihatannya.
·         Telah banyak diciptakan alat-alat dari hasil modifikasi yang khusus dipergunakan untuk anak dengan kebutuhan khusus. Modifikasi tersebut telah dirasakan manfaatnya oleh mereka yang menggunakan.  Misal:
·         Komputer untuk tunanetra yang dilengkapi dengan voice synthesizer (komputer bicara), jam bicara, Hand Phone bicara,  screen reader,  kompas bicara, kalkulator bicara.
·         Soft ware yang diperlukan: translator Braille: CX, duxbury, MBC, WinBraille, Voice syntheziser: Jaws, dll
·         Embosser: Braillo 400, Braillo 200, Comet, Versapoint, Everest, Index, Mounbothen, Marathon, MBOS, Braille Blazer, dll.
·         Laser can  (tongkat yang dilengakpi detector) untuk membantu tunanetra berjalan dll.
·         Buku bicara (talking book) melalui kaset atau CD (buku digital).
·         Papan catur timbul, sepak bola bunyi, tenis meja (bola bunyi), bridge timbul, static bicyle, Sepatu roda, merupakan alat olah raga tunanetra.
·         Block kis tuntuk menghitung, papan paku untuk sistem koordinat, meteran timbul, meteran bunyi, kalkulator bicara, dll dapat dimanfaatkan pada mata kuliah matematika.
·         Braille Kit
·         Mesin ketik Braille
·         Tongkat putih, Blindford
·         Power Rider.

c.       Modifikasi pengelolaan kelas.
·         Pengorganisasian kelas membutuhkan strategi yang kadang tidak pernah dipikirkan sebelumnya. Pengaturan tempat duduk terhadap anak-anak yang mengalami kelainan harus mendapatkan prioritas khusus, sehingga mereka seperti halnya teman yang lain. Tanpa modifikasi pengelolaan kelas mungkin mereka akan semakin tertinggal dengan teman yang lain.
·         Penempatan tempat duduk anak tunanetra harus diperhatikan  ketajaman pendengaran antara telinga kanan-kiri. Hindarkan sumber suara dosen tidak dapat diterima anak dengan baik. Kerapian tempat duduk tidak berarti apapun jika anak tunanetra tidak dapat mendengar informasi dosen/ guru.






  O  O

  O  O

  O  O







  O  O

  O  O

 O  O







  X  O

  O  X

  X  O








Keterangan:
X = tempat duduk anak dengan kebutuhan khusus
0        = adalah tempat duduk anak rata-rata/ normal/ awas
V  = meja/ kursi  dosen
·         Pembuatan kelompok  belajar/kelompok apapun sebaiknya anak tunanetra  tidak dijadikan satu kelompok, mereka harus menyebar keseluruh kelompok yang ada. Sejauh anak dengan peserta didik tunanetra masih dapat mengerjakan tugas-tugas seperti anak yang lain sekalipun minimal, mereka mendapatkan tugas seperti anak yang lain.
·         Kelas-kelas yang terdapat peserta didik tunanetra sebaliknya jangan diciptakan situasi belajar yang kompetitif, namun hendaknya anak yang unggul dapat dimanfaatkan untuk memberikan/ membantu kesulitan yang dihadapi memberikan/ membantu kesulitan yang dihadapi oleh peserta didik tunanetra secara kooperatif. Bila kelas dikondisikan kompetitif maka peserta didik tunanetra sering ketinggalan dan tidak pernah memperoleh kesempatan untuk berprestasi sesuai dengan kemampuannya
·         Anak tunanetra ditempatkan  berdekatan dengan anak yang memiliki kepedulian untuk membantu membacakan yang ditulis dosen/ guru di papan tulis/ layar LCD/OHP atau jika perlu dibuat jadwal pendampingan.
·         Hindarkan penempatan kelas yang bising, hal ini mengakibatkan anak kesulitan mendeteksi antara bunyi pokok dan latar belakang. Suara yang paling kuat (sekalipun bukan bunyi pokok) akan mendominasi pendengarannya.
·          Kelas-kelas untuk anak tunanetra hendaknya mudah dijangkau (aksesibel),  jika perlu berikan  tanda khusus dan relatif menetap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar