A. Metode pembelajaran.
ð Terbagi menjadi 3 jenis, yaitu:
a. Strategi pengorganisasian pembelajaran.
è adalah metode untuk mengorganisasi isi mata pelajaran/ kuliah yang
telah dipilih untuk pembelajaran. Mengorganisasi mengacu pada suatu tindakan
seperti pemilihan isi, penataan isi, pembuatan diagram, format, dan lainnya
yang setingkat dengan itu.
è Strategi pengorganisasian berkaitan dengan pemilihan isi, penataan
isi, pembuatan diagram, format, dan lainnya yang setingkat dengan itu.
1.
Pemilihan dan penataan isi materi
tidak memerlukan modifikasi
2.
Penyajian diagram (objek dua
dimensi) memerlukan modifikasi dengan mengemboss (menimbulkan) agar
dapat diraba tunanetra), sedangkan objek tiga dimensi harus disajikan dalam
bentuk benda asli atau model.
3.
Penyajian format/ formula vertikal
dapat dimodifikasi dalam format horinsontal, karena penulisan huruf Braille
susah disajikan dalam format vertikal.
b. Strategi penyampaian
è merupakan komponen variabel metode untuk melaksanakan program
pembelajaran. Sekurang-kurangnya
ada 2 fungsi dari strategi ini, yaitu:
1. Menyampaikan isi pembelajaran kepada peserta didik.
2. Menyediakan informasi/ bahan-bahan yang diperlukan peserta didik
untuk menampilkan unjuk-kerja (seperti latihan dan tes). Strategi penyampaian
mencakup lingkungan fisik, guru, bahan-bahan pembelajaran, dan
kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pembelajaran.
è Atau, dengan kata lain, peraga merupakan satu komponen penting
dari strategi penyampaian pembelajaran. Itulah sebabnya, peraga pembelajaran
merupakan bidang kajian utama strategi ini.
è Strategi Penyampaian terdapat 3 komponen yang perlu diperhatikan
dalam memdeskripsikan strategi penyampaian:
1.
Peraga
pembelajaran
·
Upayakan setiap anak mendapat
kesempatan untuk mengamati (meraba) media yang tersedia.
·
Peraga visual dimodifikasi ke dalam peraga auditif, perabaan,
namun tidak semua kesan visual dapat diubah ke dalam kesan non visual. Misal
persepsi cahaya, bayangan, benda yang hanya dapat dijangkau dengan penglihatan.
Hal ini anak tunanetra cukup diberi kesempatan untuk merasakan gejala yang
muncul atau bahkan cukup diberikan cerita tentang itu.
·
Objek tiga dimensi harus disajikan dalam bentuk benda asli atau
model.
2.
Interaksi peserta
didik dengan peraga.
·
Peraga hendaknya jangan terlalu
besar atau terlalu kecil, yang ideal adalah sejauh kedua tangan dapat
mendeteksi objek secara keseluruhan.
·
Penyajian tabel/ diagram perlu
penjelasan cara membaca dan maksud tabel/ diagram tersebut.
·
Ada jaminan bahwa peraga itu tidak
berbahaya, tidak mudah rusak.
3. Bentuk/ struktur pembelajaran.
·
Bentuk/struktur pembelajaran tidak
memerlukan modifikasi.
c.
Strategi
Pengelolaan
è merupakan komponen variabel metode yang berurusan dengan bagaimana
menata interaksi antara peserta didik dengan variabel-variabel metode
pembelajaran lainnya.
·
Metode pembelajaran untuk orang awas pada prinsipnya dapat
diterapkan terhadap peserta didik tunanetra dengan memodifikasi aktivitas
visual ke dalam aktivitas selain visual.
·
Metode ceramah: kata-kata asing atau kata lain yang belum dikenal
hendaknya dosen/ guru mengulangi dan mengeja huruf-demi huruf. Jika antara
ucapan dengan tulisan berbeda maka dosen/ guru harus mengeja huruf demi huruf.
B. Modifikasi pendidikan.
a. Modifikasi waktu pembelajaran.
·
Lebih bijaksana bila dalam pemberian
setiap tugas ada kaitannya dengan jenis/ tingkat kesulitan yang dialami anak,
waktu diberikan kelonggaran secara proporsional bila dibanding dengan anak
rata-rata lain. Mereka diberikan kesempatan untuk berprestasi seperti yang lain
sekalipun dalam waktu yang berbeda. Misalnya anak tunanetra dalam mengerjakan
soal-soal ujian diberikan tambahan waktu sedikitnya 20% dengan waktu yang
digunakan oleh anak awas.
·
Asumsi jumlah penambahan waktu
itu tidak memiliki dasar yang kuat, karena tiap mata kuliah tidak membutuhkan
penambahan waktu yang sama. Mata kuliah statistik yang disajikan dalam bentuk
gambar/ denah/ grafik timbul memerlukan waktu yang lebih lama, ketika anak
mengidentifikasi table, formula, grafik, sebaliknya mata kuliah filsafat justru
relatif lebih cepat.
·
Kecepatan mengerjakan soal berbalik
dengan orang awas (soal non eksakta), jika anak buta lebih cepat soal disajikan
dalam bentuk verbal, maka anak awas lebih cepat dan lebih yakin jika soal
disajikan dalam bentuk tertulis. Hal ini disebabkan karena
kecepatan membaca Braille dengan huruf cetak memiliki rentang
waktu yang relatif lama.
b.
Modifikasi sarana/media.
·
Media baca tulis untuk anak tunanetra total (buta)
dimodifikasi dalam huruf Braille, dan anak low vision dapat dimodifikasi
dengan tulisan/ huruf diperbesar/ menggunakan media optik sesuai dengan tingkat
penglihatannya.
·
Telah banyak diciptakan alat-alat dari hasil modifikasi yang
khusus dipergunakan untuk anak dengan kebutuhan khusus. Modifikasi tersebut
telah dirasakan manfaatnya oleh mereka yang menggunakan. Misal:
·
Komputer untuk tunanetra yang dilengkapi dengan voice synthesizer
(komputer bicara), jam bicara, Hand Phone bicara, screen reader,
kompas bicara, kalkulator bicara.
·
Soft ware yang diperlukan: translator Braille: CX, duxbury, MBC,
WinBraille, Voice syntheziser: Jaws, dll
·
Embosser: Braillo 400, Braillo 200, Comet, Versapoint, Everest,
Index, Mounbothen, Marathon, MBOS, Braille Blazer, dll.
·
Laser can (tongkat yang dilengakpi detector) untuk membantu
tunanetra berjalan dll.
·
Buku bicara (talking book) melalui kaset atau CD (buku digital).
·
Papan catur timbul, sepak bola bunyi, tenis meja (bola bunyi),
bridge timbul, static bicyle, Sepatu roda, merupakan alat olah raga tunanetra.
·
Block kis tuntuk menghitung, papan paku untuk sistem koordinat,
meteran timbul, meteran bunyi, kalkulator bicara, dll dapat dimanfaatkan pada
mata kuliah matematika.
·
Braille Kit
·
Mesin ketik Braille
·
Tongkat putih, Blindford
·
Power Rider.
c.
Modifikasi
pengelolaan kelas.
·
Pengorganisasian kelas membutuhkan
strategi yang kadang tidak pernah dipikirkan sebelumnya. Pengaturan tempat
duduk terhadap anak-anak yang mengalami kelainan harus mendapatkan prioritas
khusus, sehingga mereka seperti halnya teman yang lain. Tanpa modifikasi
pengelolaan kelas mungkin mereka akan semakin tertinggal dengan teman yang
lain.
·
Penempatan tempat duduk anak tunanetra
harus diperhatikan ketajaman pendengaran antara telinga kanan-kiri.
Hindarkan sumber suara dosen tidak dapat diterima anak dengan baik. Kerapian
tempat duduk tidak berarti apapun jika anak tunanetra tidak dapat mendengar
informasi dosen/ guru.
|
|
|
|
|
|
O O
|
|
O O
|
|
O O
|
|
|
|
|
|
|
|
O O
|
|
O O
|
|
O O
|
|
|
|
|
|
|
|
X O
|
|
O X
|
|
X O
|
|
|
|
|
|
|
|
Keterangan:
X = tempat duduk
anak dengan kebutuhan khusus
0
= adalah tempat
duduk anak rata-rata/ normal/ awas
V = meja/
kursi dosen
·
Pembuatan kelompok belajar/kelompok
apapun sebaiknya anak tunanetra tidak dijadikan satu kelompok, mereka
harus menyebar keseluruh kelompok yang ada. Sejauh anak dengan peserta didik
tunanetra masih dapat mengerjakan tugas-tugas seperti anak yang lain sekalipun
minimal, mereka mendapatkan tugas seperti anak yang lain.
·
Kelas-kelas yang terdapat peserta
didik tunanetra sebaliknya jangan diciptakan situasi belajar yang kompetitif,
namun hendaknya anak yang unggul dapat dimanfaatkan untuk memberikan/ membantu
kesulitan yang dihadapi memberikan/ membantu kesulitan yang dihadapi oleh
peserta didik tunanetra secara kooperatif. Bila kelas dikondisikan kompetitif
maka peserta didik tunanetra sering ketinggalan dan tidak pernah memperoleh
kesempatan untuk berprestasi sesuai dengan kemampuannya
·
Anak tunanetra ditempatkan
berdekatan dengan anak yang memiliki kepedulian untuk membantu membacakan yang
ditulis dosen/ guru di papan tulis/ layar LCD/OHP atau jika perlu dibuat jadwal
pendampingan.
·
Hindarkan penempatan kelas yang
bising, hal ini mengakibatkan anak kesulitan mendeteksi antara bunyi pokok dan
latar belakang. Suara yang paling kuat (sekalipun bukan bunyi pokok) akan
mendominasi pendengarannya.
·
Kelas-kelas untuk anak tunanetra
hendaknya mudah dijangkau (aksesibel), jika perlu berikan tanda
khusus dan relatif menetap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar